Raja Ampat.Kofiautv.com-Rekaman suara yang diduga sekda kab.raja ampat dapat mengajak masa dari Kandidat Paslon Ormas (Orideko Iriano Burdam dan Masnyur Syahdan) untuk diarahkan memilih itu salah, karena perintah suara sekda disimpulkan bahwa asn memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pileg dan pilkada, Dalam konstruksi narasi yang didengar dari video sekda Raja Ampat terbaca adalah murni perintah yang bagus untuk menjaga keamanan dalam proses Pemilih pemula pemilu 2024, menjaga perhitungan suara,dan bukan memobilisasi masa dalam pemilihan yang beralangsung pada tangal 27 November 2024.
Kemudian kerja dari Polri dan TNI adalah mengawasi dan mengawal proses pemilihan dan mengikuti hasil pemilihan. semua orang berhak mengikuti maupun mencari informasi terkait hasil pemilihan pilkada.
yang salah adalah, ASN, Polri dan tni terlibat dalam memobilisasi masa saat pemilihan. sehingga tidak dapat dikaitkan dengan istilah (tsm)/terstruktur, sistematis, & masif.
Istilah terstruktur, sistematis, dan masif memang acap muncul dalam pemilihan umum atau Pemilu. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kecurangan yang terjadi dalam pemungutan suara.
Lantas apa itu terstruktur, sistematis, dan masif alias TSM?
Menurut Mantan Ketua Hukum Litigasi Fakultas Hukum UGM Hendrikus Suyatno Saat Admin media Kofiautv.com.minta Penjelasan dalam pangandangan Hukumnya terakait Penjelasan TSM yang sebenarnya melalui via WA. Menurut Hendrikus SH.MH, Alumni UGM Yogyakarta yaitu, terstruktur adalah kecurangan dilakukan penyelenggara pemilu atau pejabat dalam struktur pemerintahan untuk memenangkan salah satu calon. Kecurangan tersebut diduga melibatkan pejabat-pejabat negara, mulai dari struktur yang paling tinggi sampai paling rendah.
Misalnya, kata Hendrikus, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kecurangan struktur melibatkan pejabat tertinggi di kabupaten seperti Bupati sampai struktur paling rendah, yakni Camat, Kepala Desa, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).
Begitu pula dalam Pilpres, kecurangan terstruktur diduga melibatkan mulai dari presiden, menteri, kepala daerah hingga pihak-pihak kepala desa paling rendah.
“Dalam artian, ada struktural dalam kecurangan tersebut,” kata Hendrikus kepada Kofiautv.com, Jumat, 29 November 2024.
Lebih lanjut, Hendrikus menjelaskan kecurangan struktural bisa terjadi dari aparat keamanan. Kendati demikian, kecurangan tersebut tidak boleh menduga-duga. “Dugaan tersebut harus dibuktikan pejabat apa yang terlibat, dan level apa yang terlibat,” kata Hendrikus.
Sementara itu, sistematis adalah kecurangan pemilu yang dilakukan secara sistem.”Ada sistem yang dibangun dalam kecurangan tersebut, seperti kecurangan yang dilakukan saat mengantar kotak suara, hingga sebelum serah terima surat suara,” kata dia.
Tak hanya itu, kecurangan sistematis dapat dilakukan sebelum dan sesudah pencoblosan surat suara. Dalam hal ini, jelas Hendrikus, sistematis dibangun mulai dari melipat suara, mengantar surat suara, dan pada saat pencoblosan.
Sedangkan setelah pencoblosan, kecurangan sistematis dilakukan ketika surat suara tersisa. Lalu, dilanjutkan dengan pencoblosan oleh orang-orang yang dibangun berdasarkan kecurangan struktural sehingga jumlah suara tidak sama dengan jumlah pencoblos.
Disamping itu, kecurangan sistematis terjadi berdasarkan sistem yang telah bangun. Selanjutnya, kata Hendrikus, masif adalah kecurangan yang dilakukan di banyak tempat. Dengan demikian, membangun sistematis melibatkan kelompok atau banyak orang. “Ini dapat dilakukan di luar TPS, seperti di kantor-kantor atau tempat lainnya,” kata Hendrikus.
Jauh sebelumnya, istilah terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu pernah disebut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Menurut dia, istilah TSM lahir pertama kali saat Pilkada Jawa Timur 2008. Saat itu terjadi sengketa lantaran Khofifah-Mudjiono menemukan adanya sejumlah kecurangan tim Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam pemungutan suara putaran kedua.
“Kami menolak hasil penghitungan dan melanjutkan proses hukumnya ke Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Khofifah dalam jumpa pers yang digelar di Rumah Makan Agis, Jalan Letjen Sudirman No 197, Surabaya, pada Selasa sore, 11 November 2008.
Menurut Khofifah saat itu, banyak ditemukan kecurangan dalam Pilkada Jatim 2008 putaran kedua. Ia mencontohkan pelanggaran di Madura, penghitungan dengan basis desa bukan TPS, banyak formulir C1 yang dicoret dan di-tipe-X, dan ditemukan TPS di pinggir jalan. MK lalu mengabulkan sebagian permohonan Khofifah karena dianggap ada pelanggaran secara TSM di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.
https://youtu.be/_7tU9L-bo_Q?si=mSy04Sd1LUd7v5UX